Kamis, 04 September 2008

Borges dan Teka-teki “The Zahir”

Jorge Luis Borges, sastrawan besar Argentina kelahiran 24 Agustus 1899, yang di Indonesia dikenal lewat buku Labirin Impian terjemahan Hasif Amini (LKiS Yogyakarta, 1999), adalah figur yang mempunyai kekuatan untuk membuat orang kepincut. Dengan kekayaan tema dan daya jelajah bahasa yang menebar bius, dengan kegetolan mencipta sastra fantastis lewat prosa mini berjuluk ficcioness, menempatkan filsafat sebagai tak lebih dari cabang sastra, ia sungguh patut diganjar pujian.


Kita bisa tergerak membaca berulang-ulang cerita-cerita Borges, bukan saja disebabkan oleh kedahsyatan daya tutur, melainkan juga oleh kompleksitas logika, kekayaan rujukan, habluran metafora serta kelincahannya mencampur aduk fakta dan fiksi, yang semuanya mampu menghadirkan retakan epistemologis dalam cara kita menilai kenyataan yang membentang di luar diri kita, sekaligus sejarah sastra yang selama ini mendekam di benak kita.

Membaca Borges berarti mengakui bahwa riwayat sastra adalah riwayat ketakjuban.

Namun sebenarnya ada hal lain mengenai Borges yang membikin penasaran. Di salah satu situs internet kita dapat menemukan cerita berjudul “The Zahir”. Dalam teks itu nama Jorge Luis Borges tertera selaku pengarang.

“The Zahir” versi internet dimulai dengan kalimat “My friend Borges once described a Zahir, which in Buenos Aires in 1939 was a coin, a ten-centavo piece, with the letters ‘N' and ‘T' and the numeral ‘2' scratched crudely in the obverse. Whomsoever saw this coin was consumed by it, in a manner of speaking, and could think of nothing else, until at last their personality ceased to exist, and they were reduced to a babbling corpse with nothing to talk about but the coin, the coin, always the coin.”

Sementara itu, pada sejumlah buku Borges, kita akan mendapati “The Zahir” yang betul-betul berbeda dengan yang ada di internet. Dalam Collected Fictions misalnya (Jorge Luis Borges, Collected Fictions, 1998, halaman 242), “The Zahir” dibuka dengan kalimat “In Buenos Aires the Zahir is a common twenty-centavo coin into which a razor or letter opener has scratched the letters N T and the number 2; the date stamped on the face is 1929. (In Gujarat, at the end of the eighteenth century, the Zahir was a tiger; in Java it was a blind man in the Surakarta mosque, stoned by the faithful; in Persia, an astrolabe that Nadir Shah ordered thrown into the sea....”).

“The Zahir” versi buku menampilkan narator bernama Borges, yang bersaksi bahwa “tanggal 7 Juni, pada dini hari, Zahir berada dalam genggamanku; aku bukan lagi aku yang dulu, namun aku masih dapat mengingat, dan mungkin bisa menceritakan, apa yang terjadi. Sekalipun agak gamang, aku tetaplah Borges”. Sedangkan pada “The Zahir” versi internet, sang narator, yang bernama Dominus, adalah sahabat Borges yang “tiba di Uruguay dengan sebuah kapal api dari Kuba dan berusaha untuk meninggalkan negaraku menuju Argentina, di mana aku akan menetap bersama Borges”.

Narator “The Zahir” versi buku adalah lelaki yang karena rasa bingung memikirkan Zahir, terseret ke dalam serangkaian renungan mistis. Lelaki yang berkhayal menulis kisah fantasi tentang seorang pertapa yang mengasingkan diri ke padang pasir yang lantaran kesuciannya dianggap masyarakat sebagai malaikat kendati ayahnya penyihir. Lelaki yang sempat berkonsultasi ke psikiater dengan dalih menderita insomnia, yang tak sanggup membebaskan pikirannya dari citraan suatu benda, sekeping koin. Dan kemudian, di akhir cerita, dia -- duduk di sebilah bangku di Plaza Garay saat fajar subuh menyingsing -- mencoba memikirkan untaian kata kitab Asrar Nama karya Fariduddin Attar, penyair dan sufi Persia yang tersohor. Dan seketika dia teringat kepada kaum sufi yang, demi menyatukan diri dengan Tuhan, menzikirkan secara khusyuk 99 nama Tuhan hingga nama-nama tersebut tak bermakna lagi. Dia menempuh cara kaum sufi itu dan berharap “barangkali dengan terus-menerus memikirkan Zahir, perlahan-lahan aku dapat melupakannya; barangkali di balik sekeping koin adalah Tuhan”.

Sebaliknya, “The Zahir” versi internet menyuguhkan kisah tentang pengalaman yang boleh dibilang remeh, mengenai Dominus yang kehabisan uang tatkala mencapai kota Fray Bentos dan terpaksa menumpang selama dua minggu di rumah Ireneo Funes, seorang lelaki pincang yang menghabiskan waktu berjam-jam menatap tangannya, segaris retakan di tembok, tembakau di pucuk rokoknya. Funes -- yang kata Maria Fuente, perempuan pemalas yang bertugas merawatnya, “adalah titisan Iblis” -- secara ragawi tak berdaya namun memiliki ingatan yang kuat. Saking kuatnya dia mengingat secara sempurna perbedaan masing-masing daun di sebatang pohon, atau sehelai daun dari pohon yang lain, sehelai daun dari pohon yang sama di hari yang berbeda, bersama percikan air sungai yang membasahi tubuhnya di masa kanak-kanak. Tetapi suatu hari, ingatannya tiba-tiba diombang-ambingkan oleh penggerus merica, yang panjangnya sekitar enam inci, berbentuk silinder, terbuat dari kayu berwarna cokelat tua dengan enam parutan bekas terbakar, yang ditemukan Dominus terselip di rak tempat penyimpanan botol rempah-rempah dan bumbu yang ada di rumahnya.
***
“The Zahir” versi internet agaknya merupakan hasil olahan atas “The Zahir” versi buku dan fiksi Borges yang lain, “Funes the Memorious”. Dari “The Zahir” versi buku, pengarang “The Zahir” versi internet mengambil ilham perihal benda yang kuasa mencengkeram pikiran orang. Sedangkan lelaki pincang akibat kecelakaan menunggang kuda namun mempunyai ingatan kuat yang diberi nama Ireneo Funes mirip dengan Funes dalam “Funes the Memorious”, yang juga cacat lantaran jatuh dari kuda, yang memiliki ingatan kuat di mana kenangannya yang paling tak berharga pun lebih terperinci dan lebih hidup ketimbang pencerapan indrawi kita atas kenikmatan atau siksaan jasmani.

Sudah pasti, kita pun terlecut untuk bertanya-tanya: Adakah “The Zahir” versi internet benar-benar karangan Borges? Tetapi jika tidak, lantas siapakah pengarangnya yang sesungguhnya? Dan atas dasar apa sang pengarang membajak nama Borges?

Barangkali kita sedang berhadapan dengan sesosok hantu yang mengambil nama Borges sebagai wadah untuk menjelmakan tubuhnya. Dia tahu, dia akan memperoleh kehidupan tidak dengan menorehkan namanya sendiri, tetapi dengan mencomot nama orang lain. Dia hidup justru dengan meleburkan dirinya ke dalam identitas orang lain. Borges, baginya, adalah figur yang begitu menggoda, dan karena itu dia secara sukarela menghambur menyambut godaan itu. Cuma itulah cara yang tak muskil dilakukannya untuk muncul ke permukaan. Di situ kemunculan, penampakan, adalah ketika wajahnya terpantul dari cermin yang bukan miliknya. Sebuah kehadiran yang ironis. Ilusi yang disadari namun diterima secara sukacita.

Tetapi, ini belum tentu juga benar. Siapa tahu dia sempat membaca tulisan Julio Cortázar perihal tingkah laku sejumlah penulis Argentina yang ikut-ikutan mengusung idiom labirin dan cermin milik Borges ke dalam prosa mereka, menjiplak tema mitologi Borgesian tanpa malu-malu. Agar terhindar dari tudingan epigon, alih-alih mencari idiom dan tema baru dia justru menulis fiksi dengan meniru gaya Borges dan sekalian mencantumkan nama Borges selaku pengarangnya. Akibatnya, pembaca yang tak jeli akan menganggap fiksi itu benar-benar milik Borges. Dia sungguh jitu menyembunyikan wajahnya di balik selembar topeng. Terbuka kemungkinan dia menikmati permainan itu, mengolok-olok wibawa literer Borges, seolah ingin menunjukkan bahwa selalu ada celah untuk mempermainkan figur agung sastra. Dan, ini selanjutnya menghasut kita untuk mempertimbangkan ungkapan Albert Camus dalam Mite Sisifus: “Seluruh eksistensi, bagi seorang manusia yang berpaling dari keabadian, hanyalah suatu peniruan yang melampaui takaran, di balik topeng absurditas.”

Atau mungkin itulah ihwal yang oleh Julia Kristeva disebut “transposisi”, peralihan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya (Julia Kristeva, Revolution in Poetic Language, 1974, 59). Transposisi, di antaranya, bertujuan menyelewengkan tanda dari teks rujukan demi penguaran kritik atau sekadar lelucon. Sebuah laku penggandaan teks yang menggumpalkan parodi pada kutub penciptaan yang digerakkan oleh hasrat untuk bermain-main dengan bahasa.

Memang, ada saat ketika apa yang dilakukan orang melulu sebagai upaya mereguk kenikmatan teks. Roland Barthes -- lewat buku tipis bertajuk The Pleasure of the Text -- pernah mengisbatkan hal itu, sembari menegaskan watak menulis sebagai usaha penghancuran setiap suara, segenap asal-usul; gelanggang penafian identitas yang diawali dengan lenyapnya pengarang (Roland Barthes, Image-Music-Text, 1977, 142). Pengarang, atau diri yang berkuasa memberi makna, undur ke belakang, dan yang tertinggal adalah rimba kata-kata, lembah kalimat, gurun teks yang terbuka untuk dimasuki siapa saja. Dengan demikian, orang akan lebih leluasa memintal makna, memungut dan menata anasir yang tercecer, terus-menerus berada dalam gerilya semiotik, senantiasa mengarungi lautan tanda. Dan alhasil teks, mengutip Tzvetan Todorov, hanyalah suatu medan tamasya di mana pengarang membawa kata-kata dan pembaca membawa makna.

Keberadaan pengarang “The Zahir” versi internet boleh jadi selamanya akan menjadi misteri, enigma yang tersisip di lembaran kehidupan yang fana. Namun, untunglah sebaris kalimat yang termaktub dalam esai “The Nothingness of Personality” (Jorge Luis Borges, The Total Library, 2001, 4) masih bisa menghibur kita: “Orang yang menakrifkan identitas diri sebagai kepemilikan pribadi tempat meneguhkan ingatan tentu saja keliru.”

Pada akhirnya, riwayat sastra, sebagaimana riwayat jagat raya, tidak lagi semata-mata riwayat ketakjuban tetapi juga riwayat teka-teki.

Diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 4 September 2005



0 komentar:

  © Blogger template 'Isfahan' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP