IDEOLOGI
Dunia, siapa pun (barangkali) sepakat, bukan wilayah suci yang tak mengenal kebobrokan manusia; bukan surga tempat orang-orang telah diberkati Tuhan, kosong dari dosa. Di dunia orang berderak dengan impian yang tak selamanya waras, sehingga hidup tak melulu berisi perkara yang luhur. Semua yang pernah melintas dalam sejarah juga sering mencecerkan kenangan buram. Riwayat yang masygul.
Pada penggalan sejarah Indonesia, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi satu baris nama yang mampu membangkitkan trauma dan rasa benci, Ibrahim Kadir adalah seonggok kenangan yang masygul itu. Melalui kesaksiannya yang perih, ia hadir seolah-olah untuk meneguhkan apa yang diyakini orang selama ini: kesewenang-wenangan memang kerap terbit dari dendam yang dipelihara diam-diam.
Ibrahim Kadir tentu saja bukan sekadar siluet fiktif di tengah bentangan layar lebar garapan Garin Nugroho, Puisi Tak Terkuburkan. Sebuah film tentang duka yang gugup dan berkepanjangan. Sebuah film yang benar-benar datang dengan realisme politik yang menyakitkan, yang menghamburkan potongan-potongan kisah otobiografis Ibrahim Kadir, sang penyair didong dari kota Takengon di Aceh yang dituduh komunis.
Ibrahim Kadir, kita tahu, bukan satu-satunya korban. Tak sedikit orang tak berdosa menderita karena diganduli label komunis yang tercipta dari penjelajahan gagasan yang memabukkan: ideologi. Namun, mengapa harus ada ideologi? Mengapa mesti ada korban?
Sejarah manusia mungkin adalah sejarah hasrat yang selalu ingin intim dengan kekuasaan. Narasi mengenai -- dalam adagium Nietzsche -- “kehendak untuk kuasa”. Bahwa setiap derap yang mencetuskan kecenderungan dominasi dan hegemoni merupakan celah bagi perlawanan. Lantas orang merancang ideologi yang dapat merangkum gejolak perasaan banyak orang, yang sanggup memberi pukau buat pelaksanaan revolusi. Ideologi dibutuhkan demi meyakinkan rakyat bahwa pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan, juga menepis kondisi objektif yang penuh represi, merupakan keniscayaan yang heroik.
Bertahun-tahun yang lampau, saat nasib yang muram menggenang, orang-orang dengan mistik ideologi Marxisme meradang atas nama keadilan yang dilecehkan. Perjuangan kelas seperti mantra yang menjulangkan surga dunia: di siang hari rakyat bekerja lalu melewati malam dengan obrolan tentang filsafat dan seni. Sebuah dunia yang berpangku pada Utopia.
Kebersamaan sosialistis yang diangankan Marxisme menuntut pemberangusan terhadap apa yang menyebal dari keseragaman. Hak individu, dan itu berarti hak asasi manusia, tak diperkenankan menjejak lingkaran publik. Hak individu tak ubahnya kurap bernajis yang mesti digosok bersih dari kulit manusia. Segenap milik individu adalah pengkhianatan terhadap kekudusan egalitarianisme. Kapital bukan kepunyaan seseorang, atau satu kelompok, melainkan milik bersama.
Tetapi dunia bukan surga yang tak mengenal kebobrokan manusia. Maka ihwal yang digemuruhkan Marxisme, atau Komunisme, tak lain dari satu pasase ide yang berujung pada kenaifan. Komunisme demi kebersamaan sosialistis yang hendak menjauhkan rakyat dari belitan kapitalisme yang membuat orang saling melukai, toh tak sanggup menghindar dari ilusi sejarah: indoktrinasi, suasana yang bising oleh ajaran partai, yang membasmi gerak orang per orang. Khalayak disihir menjadi sekerumun orang -- entah yang disederhanakan dengan nama kaum buruh atau kaum tani -- yang berjubel dengan benak yang tak henti-henti menadah pidato, khotbah, yang serba dogmatis. Tak ada ruang bagi yang lain.
Lenin: “Marxisme adalah konsepsi yang monolitis tentang dunia.” Dan di Indonesia PKI yang berniat menitiskan impian Marxisme, membunuh banyak orang. Dan tatkala PKI tumbang, sejarah pun menjelmakan kembali kekejaman yang dilakukan PKI. Orde Baru dengan ideologi Pancasila berdiri kukuh, menebar penumpasan terhadap segala soal yang berpaut dengan PKI.
Lalu, apa bedanya perlawanan dengan penindasan? Perlawanan atas kesewenang-wenangan ibarat mata rantai yang mengantarkan orang pada sebuah puncak di mana kesewenang-wenangan yang baru ditahbiskan. Di situ, ideologi tak semata-mata terstrukturkan sebagai himpunan ide dari serentet abstraksi yang angkuh, melainkan juga sebuah palu yang kuasa memutuskan hidup-matinya seorang manusia.
Ideologi menyuguhi orang hasrat untuk menyusun dunia yang monokromatik. Bahwa hidup ibarat deretan peristiwa yang dapat ditebak, sehingga absah memancang satu kiblat dari seluruh gairah diri. Dengan demikian, ideologi mengguriskan kesadaran yang total, penghambaan yang membabi buta terhadap keyakinan golongan. Ia menyodorkan identitas tunggal bagi sebuah kelompok, yang memakzulkan orang lain sebagai makhluk yang dapat dimusnahkan.
“Semalam aku berpikir tentang ideologi. Katanya ideologi bisa membuat orang hidup. Tapi di setiap sejarah yang kubaca, ideologi bisa membunuh orang. Jadi ideologi itu apa?” Salah seorang tokoh film Puisi Tak Terkuburkan melirihkan kalimat itu. Memang, ideologi tak gampang untuk dirumuskan. Itu sebabnya, dalam kehidupan selalu ada yang muskil untuk ditafsirkan dengan satu jawaban, dengan satu gugusan pikiran yang mutlak. Ya, kita adalah Sisiphus yang melangkah dengan menggotong batu biografi hitam. Gelap dan absurd.
0 komentar:
Posting Komentar