Kiarostami, Film, Diri yang Gamang
Bukan malaikat, bukan manusia, dan binatang yang culas mewartakan bahwa kita benar-benar tidak betah di dunia yang telah kita urai ini.
-- Rainer Maria Rilke --
PADA mulanya: Taste of Cherry.
Manusia, apa boleh buat, tampaknya ditakdirkan untuk tak kuasa menampik ironi: makhluk yang menggelegak dengan impian atas nasib yang ajek sekaligus kerapuhan menaklukkan teka-teki hidup yang mencekik; sebercak debu yang terlontar ke tengah pusaran jagat yang acak. Maka manusia akan senantiasa direpotkan oleh ikhtiar yang masygul, bahkan mungkin muskil, untuk mengenyahkan rasa gamang, dengan gairah sukacita atau pekat luka, tanpa muara yang mampu membuat hati tenang. Sementara, hidup melaju di luar kendali siapa pun. “Hidup bagai kereta yang terus berjalan,” gumam seseorang dalam Taste of Cherry.
Sebuah riwayat di sebuah dunia, perihal keterasingan manusia.
Manusia gamang. Dan Taste of Cherry yang merupakan besutan Abbas Kairostami, sutradara Iran kelahiran Teheran 22 Juni 1940, adalah monumen kegamangan manusia itu. Film yang meski sempat dilarang beredar oleh pemerintah Iran namun merebut penghargaan bergengsi di Festival Film Cannes Perancis, Palem Emas Cannes 1997.
Pasase visual Taste of Cherry sebagian besar berderak dalam wilayah percakapan antara Badii (Homayoun Ershadi) dan tiga orang lelaki yang silih berganti menumpang di mobilnya, dengan lanskap daerah gersang bertabur debu. Dan itu serupa labirin yang melorongkan penonton pada metafora: percakapan di mobil yang gaduh oleh silang sengkarut argumentasi itu adalah pantulan dari hal-ihwal yang selalu mengalir, sehingga segala pemutlakan takrif jatuh menjadi sebongkah kepastian yang retak. Tidak menghadirkan apa-apa selain kesia-siaan yang berdarah.
Ada semacam teologi keraguan membumbung: setiap suara, yang sudah pasti membawa filsafat tersendiri, punya hak untuk mendapat tempat sekalipun bukan segalanya. “Karena Tuhan mahabesar maka tidak mungkin memaksa hamba-Nya untuk hidup.”
Maklumat tentang kebebasan manusia itu dicetuskan oleh Badii, laki-laki setengah baya yang ingin bunuh diri, dengan sorot mata yang membiaskan sekelebat kesunyian yang terkhianati dan menjelma menjadi ruang hampa yang menggiriskan.
Manusia bebas dan itu sebabnya keagungan Tuhan tidak dicirikan oleh wewenang-Nya mendesakkan satu rancangan nasib kepada manusia. Badii memancang kehendak untuk kemandirian diri justru karena percaya Tuhan. Ia bermaksud menghabisi setiap jengkal napasnya demi sebuah ontologi kekosongan yang puitik. Apa yang bisa diharapkan dari hidup jika ternyata manusia didera kepusingan makna yang tak memberinya jalan keluar yang menenteramkan? Atau ketika hidup berubah menjadi bentangan waktu yang membukakan pintu ke bilik yang gerowong, tak apa-apa di situ kecuali diri yang bertarung melawan kalut? Sungguh, kematian menjadi langkah untuk menyelamatkan cinta dan hidup. “Apabila kita tidak bahagia dan bersikukuh untuk bertahan, maka itu sama dengan menyakiti orang lain.”
Akankah Badii teguh bergelayut pada keyakinannya itu? Benarkah kematian satu-satunya celah untuk menyusun kemerdekaan? Barangkali Badii benar-benar mengusung filsafat semacam itu. Atau sebaliknya, ia sosok yang tidak sama dengan Ivan Karamazov – tokoh novel sastrawan Rusia tersohor Fyodor Dostoyevski, Karamazov Bersaudara – yang leluasa berseru, “Segalanya diizinkan”. Badii mungkin bukan seorang nihilis tulen, bukan pula fatalis yang radikal. Ia cuma peziarah yang mencoba mempertahankan kesunyian demi bertakhta di atas tubir kebimbangan. Sesuatu yang mengingatkan pada kalimat dalam novel Telegram Putu Wijaya: “Kebimbangan adalah suci”.
Badii bimbang, galau menghadapi dunia yang tidak henti-henti melambungkan ketidakpastian yang enigmatik. “Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” Larik sajak Goenawan Mohamad itu merupakan personifikasi yang (semoga) tepat bagi Badii. Bunuh diri: bersedih tanpa kata. Yang tersisa tinggal tindakan.
Tetapi tidak semudah itu. Kebimbangan, bagaimanapun, poros dari arus batin yang rusuh. Ia menolak tersuruk ke dalam satu ekstremisitas: niat bunuh diri lebih berarti sejumput gugatan ketimbang pesimisme yang murung. Pada perjumpaannya dengan penumpang yang ketiga, lelaki tua bernama Bagheri (Abdolhossein Bagheri), ia menemukan makna hidup yang lain. Makna yang meruyak dari pengalaman Bagheri yang, barangkali menurut banyak orang, sepele. Pada suatu hari Bagheri memutuskan untuk menggantung diri di pohon ceri. Namun sebelum melakukan itu, ia memcicipi buah ceri. Tidak lama kemudian sekelompok bocah datang dan memintanya menjatuhkan buah ceri itu, dan mereka begitu gembira melahapnya. Kenyataan itu menyulut Bagheri untuk turut gembira. Ia tersadar, bila buah ceri yang “remeh” itu mampu menyorongkan seserpih kebahagiaan kepada manusia, apalagi mansuia itu sendiri. Lantas ia pun membatalkan niat bunuh dirinya itu.
Toh begitu banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri. Di tengah misteri selalu tersisip peristiwa yang memberi manusia rasa takjub dan kenikmatan. Ada kebahagiaan: geliat embun menggelantung di ranting-ranting; geliat fajar yang menyelusup ke dalam kamar lewat kisi-kisi jendela. Dan setiap geliat diam-diam menghasut kita untuk berbincang dengan diri sendiri dan orang lain. Seperti Bagheri yang bertanya kepada Badii: “Pernahkah engkau melihat langit ketika terbangun di pagi hari? Tidakkah engkau ingin melihatnya lagi?”
Lantas? Ending yang menyodorkan teka-teki, klimaks yang membikin penasaran. Karena itu, terkutuklah penonton yang mengharapkan alur cerita yang dapat menemani mereka dengan sejumlah makna yang mutlak perihal apa yang mereka tonton. Kiarostami bukan sutradara yang gemar menggebyarkan moralitas pengkhotbah: menjelang akhir cerita, Badii menggelesot pasrah di sebuah lubang di lereng bukit (pada adegan ini saya membayangkan Badii sebagai sosok laki-laki yang tabah sekaligus melankolis, dengan bibir gemetar melafalkan baris sajak “Kematian Empedocles” milik Hölderlin: tak ‘kan kuanggap kecil teka-teki itu, demikianlah kubuhul sudah diriku dengan tali kematian). Kemudian, ah, langit mendadak mendung, awan hitam menggerombol, petir menggelegar disusul tumpahan hujan. Dan inilah puncak teka-teki: kita tidak tahu nasib Badii, adakah maut mengerkahnya atau tidak. Kita sungguh diamuk tanda tanya besar.
Memang, orang buta akan gerak waktu: tubuh di padang pasir semesta yang memayungkan awan hitam, belantara tanpa dinding yang menyemburkan patahan-patahan gema yang asing, kerumunan melankoli yang koyak. Manusia sepenuhnya “milik waktu, dan dengan rasa ngeri yang tiba-tiba menyergapnya ia mengenalinya sebagai musuhnya yang paling buruk” – untuk menukil kalimat Mite Sisifus karya Albert Camus. Dan kita, sekali lagi, tak paham nasib Badii. Juga, bagaimana dan di mana Tuhan serta apa arti dosa tatkala hasrat bunuh diri telah ditegakkan dengan semangat yang bandel. Pertanyaan terhadap isbat atas khayalan yang kudus mengenai dunia pun digaungkan. Takdir, haruskah dijuluki ilusi sang ego atau nubuat? “Waktu menggoreskan nestapa bukan lantaran Tuhan mati, melainkan karena manusia hampir tidak menyadari dan bahkan tidak sanggup menjauhi ajalnya.” Samar-samar yang melintas hanyalah frase muram Martin Heidegger.
Satu soal lagi, Kiarostami menyertakan adegan proses pembuatan film sebagai penutup cerita. Sebuah neorealisme dalam sinema, yang secara genealogis bisa dicantelkan pada konsep teater Bertolt Brecht, Verfremdungseffekt: kesanggupan mengeksplorasi akting yang menghalau penonton ke tempat yang berjarak dari lakon, sehingga terhindar dari ilusi tontonan yang kerap membungkam daya kritis.
☼☼☼☼☼☼☼
Kiarostami menggenggam dunia sunyi di mana ia khusyuk menyimak jantung manusia, sampai jantung itu berhenti berdetak. Dan kemudian ia akan menyimak yang lain lagi.
-- Richard Corliss --
LEWAT Taste of Cherry, Kiarostami mengungkai sisi subtil manusia, menerjemahkannya ke dalam gambar-gambar puitis yang menyorot golak jiwa (yang brengsek atau yang mengharukan), sehingga hadirin tergiring ke serangkai refleksi yang mencerahkan. Gambar-gambar puitis yang kuasa memikat sutradara besar Akira Kurosawa. “Kata-kata tidak dapat menggambarkan perasaan saya terhadap film-film Kiarostami, dan lebih mudah bagi saya untuk memberitahu Anda: tontonlah film-filmnya.”
Bagi kiarostami, film tak lain dari jalinan momen estetis untuk mendedahkan kisah perih, medium untuk mengukuhkan apa yang acap membersit dalam diri: pengharapan terhadap hidup dan sikap goyah menghalau batas fana dunia. Kehidupan bersitatap langsung dengan kematian. Kontradiksi tak kunjung usai memiuh eksistensi, merobek jantung manusia. Itu sebabnya, Kiarostami mengaksiomakan seniman pada fungsi pengimbang, mekanisme pertahanan bagi ihwal yang memiriskan. Seniman – tutur Kiarostami kepada David Walsh, redaktur seni World Socialist Website – “menyelesaikan tugasnya mengubah pengalaman manusia di tengah rasa sakit ke dalam karya seni. Tanpa menjadi sinis.”
Film-film Kiarostami yang terbit di bawah represi dan sensor, tidak pernah terpincut untuk berpaling dari pengalaman nyata orang per orang. Sesungguhnya, ia hanya mencoba mengakrabi persoalan tanpa hasrat membawa petuah moral. Film adalah sebuah pojok tempat Kiarostami berdiri menjenguk realitas yang terbentuk dari pelbagai motif dan tafsir individu (yang kelak kita sebut sejarah).
Namun, realisme Kiarostami bukan realisme yang berambisi mengkonstitusikan sebuah koherensi di mana orang menemukan makna total dunia. Khalayak mencatat, aksentuasi film membeber sekaligus imajinasi dan dokumentasi. Visualisasi fiksi dan fakta, secara serentak. Selebihnya, tidak ada kemutlakan alur cerita yang dapat ditakikkan sebagai hegemoni sutradara ke dalam kesadaran khalayak. Bagaimana penonton bisa dilibatkan dalam proses penyelesaian film, itulah visi Kiarostami yang diwujudkannya ke model “the half made film”. Film yang sengaja dibikin kabur, dan penonton dengan nalar mereka yang khas dipersilakan menyelesaikannya sendiri. Film yang menisbahkan bangunan gagasan sinema kepada persekutuan sutradara dan penonton. Film yang bergerak dengan semangat puisi: menyediakan pintu bagi khalayak untuk ikut masuk ke dalam tindakan pemaknaan.
Demikianlah. “Dan karena saya tidak sanggup lagi berargumen, saya katakan kepadanya, ‘Ingrid, itu cuma film!’” – Alfred Hitchcock.***
0 komentar:
Posting Komentar